Dark Humor




Humour is not resigned; it is rebellious. It signifies not only the triumph
of the ego but also of the pleasure principle . . .
─Sigmund Freud

Freud mencoba menjelaskan mengenai humor dalam kajiannya, terkutip melalui buku Dark Humor terbitan Palgrave Macmilan pada tahun 2003 yang lalu, hasil karya dari Lisa Colleta. Iya sama, saya pun ndak ngerti maksudnya apa. Masih ada lagi:

A sense of humor develops in a society to the degree that its members are
simultaneously conscious of being each a unique person and of being all
in common subjection to unalterable laws.
─W.H. Auden

Dalam esainya yang berjudul Laughter, Henri Bergson mendeklarasikan, “Our laughter is always the laughter of the group,” pula, karena konsistensinya pada social function of comedy, dia menjadi semacam tumpuan dasar bagi studi mengenai humor dalam satir sosial. Iya benar sekali, memang kutipan dan penjelasan diatas beda tokoh, berarti anda cukup teliti, puas? Memang hal-hal seperti ini menjadi sebagai peraturan yang tidak jarang absolute, iya, pengutipan dan lain sebagainya itu. Pembenaran membutuhkan pondasi yang kuat, pondasi yang kuat terlahir dari materi penyusun yang kuat, dalam hal ini tokoh yang mengutarakannya haruslah memiliki kuasa, yang sayangnya kadang dibuat berlebihan oleh pengikutnya. Pernah terbayang jika kita ingin menyampaikan bahwa salju itu putih, lalu harus mencari siapa tokoh pencetus kenyataan itu? Waw. Mungkin memang saya belum begitu mengerti aturan-aturan tersebut dan pemanfaatannya dalam perkembangan manusia, jadi biar sajalah. Kembali ke humor.

Tidak bisa dipungkiri membaca dan mengkaji humor memang mengasyikkan ─bagi beberapa orang tentunya─. Gestur dan social manners yang banyak diadopsi untuk dimainkan dalam pertunjukan semacam ludruk, opera sabun, dan lain sebagainya berasal dari peran tiap persona sehari-hari, yang mulai diatur dan terkadang menjadi terlalu kaku dan mekanis pada perkembangannya. Mas Bergson diatas tadi menyatakan juga “comic absurdity is of the same nature as that of dreams,” sebuah klaim yang tidak sepenuhnya dikembangkan, tetapi menjadi nyambung dengan kutipan dari Freud diatas dan kajian asuhannya. Abusurditas ─yang seringkali keluar batas─ menjadi suatu pendobrak rintangan-rintangan yang membatasi tawa. Dengan kata lain, jangan berharap bisa tertawa tulus jika masih tersandung batasan-batasan tertentu, yang hakiki terutama. Ketidakmampuan persona dalam beradaptasi pada perubahan ─menuju absurditas─ keadaan tersebut menyebabkan kanker dan gangguan kehamilan dan janin gagal pahamnya pada suatu humor yang tersampaikan, bukan hanya dalam segi pragmatis saja penyebabnya. Sebagai contoh ketika saya menjawab pertanyaan dari Aulia ta’arufi (pakai qolqolah bacanya, kalau tidak salah) dengan kalimat bertekanan tinggi tegang pula “SELOW VRE, SELOW!!!” maka teman-teman KBM seringkali tertawa, pun sang puan. Benar, kan? Diluar kelompok kami tidak akan paham (dari segi linguistik), dan tanpa toleransi tingkat tinggi kebanyakan mengira saya gila (teori Mas Bergson tadi).

Cukup mudah rasanya memahami humor, jika mau membiarkan absurditas menyeruak dari logika kita yang kebanyakan mengekang. Tapi tetap faktor lain seperti linguistic diatas harus dipertimbangkan. Hal inilah yang menjadi tantangan dari hapir setiap pelawak (komika, terdengar leih keren, kan?). kontekstualitas tidak semena-mena dikesampingkan. Itulah sebabnya terkadang kita tidak bisa ngeh ketika mengkonsumsi lawakan orang asing, kecuali memiliki stok informasi yang sama.

Oh iya ada lagi, bagi mas Bergson  tadi, humor pada esensinya merupakan pembenaran (membenarkan?). beranjak pada ketertarikannya pada dunia satir, mengkritisi suatu ketentuan yang “ya emang dari sananya gitu” (taken for granted) dan membeberkan sudut pandang lain yang tersembunyikan (disembunyikan?). humor terkadang memberikan signifikasi tentang suatu itu tadi, apa sih? Ketentuan atau apapun yang itu tadilah. Dengan ini menjadi lumayan jelas pembedaan humor dengan Dark Humor (satir), bukan dari segi absurditasnya semata, melainkan pada poin yang dituju.

Menjadi keindahan tersendiri bagi saya ketika suatu bacaan (novel, cerpen, tweet, status, dlsb) mampu memproyeksikan suatu kondisi dalam theater of mind  kita. Sejatinya ─menurut saya─ salah satu karya tersulit adalah menulis, karena kita dituntut untuk memproyeksikan berbagai macam warna melalui media yang miskin warna. Tidak sedikit pemuda-pemudi bahkan yang tua-tua menjadi “turned on” sewaktu membaca cerita-cerita seksi, dan cenderung bosan dengan video porno yang terang-terangan. Bagaimana bisa? Pak Kris (salah satu guru saya) mengutip dari salah seorang penulis ternama, kurang lebih seperti ini: “sesuatu yang sedikit tersingkap lebih menarik”, contohnya rok, atau kemeja yang kancingnya tidak sepenuhnya difungsikan. Menjadi makruh hukumnya bagi saya untuk tidak melanjutkan topik ini.

Prochnost.

Comments

Popular Posts