Dini tanpa h setelah D.



“Nduuuk…. Anak wedok jangan manjat-manjat, ndak eloook”
Mendengar itu Dini tak bergerak. Layaknya maling yang siap di dor!
“Hahuuuh…Hohoh Hah-huuuuuh, hiye hihiii?”
“Apa seh Din? Ndak jelas”
Dini kecil sadar masih ada jambu digigitnya. Dibuang semena-mena saja pikirnya.
“maksudku, Haduuuh.. ono Mak kuuu, piye iki?”
Lari pontang-panting anak kecil-kecil tu. Dini yang ikut panik berusaha turun dengan cepat. Ketika jarak kurang lebih dua meter dari tanah, dihadapannya menggeliat seekor ulat. Respon manusia normal ketika kaget adalah menegang, saat itu Dini masih termasuk normal.

Plukk!

Iya, begitu bunyinya. Tuuhnya yang kecil itu menyentuh tanah. Kurus. Jadi begitulah. Alasan kenapa dia paling diandalkan dalam memanjat pohon,selain gampang disuruh-suruh, ya ringan. Apalagi?
Setelah beberapa saat merasa gelap, sadar dia. Entah kenapa tubuhnya yang ringan jadi terasa lebih ringan. Hampir melayang dia hanya karena berfikir untuk segera lompat dan kabur. Wah, bukan main girangnya Dini. Berlarian dia, melompat, melayang. Asyik betul pikirnya.
Dia paling gampang disuruh-suruh. Karena baik betul dia. Seringkali sifat baik berlebihan menjadi tak baik. Pikirannya selalu positif. Maka dari itu gampang saja dia disuruh-suruh. Jadi terkesan agak lambat penilaiannya. Sejatinya dia cerdas. Sungguh tak bohong aku.
Karna cerdasnya itu, sadar dia kalau langkahnya aneh. Tak begitu biasanya orang berjalan bukan? Pikirnya begitu. Keterlambatan penilaiannya menyebabkan kerumitan. Tak sadar dia sudah lari terus sampai pinggir pantai. Menangislah dia.
Dalam tangisnya, disentuh pundaknya oleh seorang paruh baya.
“ada apa anakku? Kenapa menangis?”
Panjang-lebar tapi tidak tinggi ceritanya pada orang itu. Bercerita Dini dengan cerianya. Tidak berhenti. Lupa dia akan kerisauannya yang tadi-tadi. Orang itu enak sekali diajak ngobrol pikirnya. Dia baik. Jadilah obrolan itu tak henti, saling sahut, yah 20%-80% lah proporsinya.
Seorang paruh baya itu banyak tau. Ditunjukkannya macam macam cerita. Macam macam tempat. Macam macam hal. Tak mungkin tak antusias Dini menerima hal baru, asal kau tau. Berjalan mereka kemana-mana.
“Dunia ini begitu luas dan indahnya nak, walau sudah berpuluh-puluh tahun kita jelajahi, tak mungkin semua rahasia bisa kita tau, ya bahkan sampai seperti saat ini kan?”
Dini hanya tersenyum lebar. Lalu datar.
Sungguh alpa dia. Tak sadar sudah berpuluh-puluh tahun berjalan dan mengobrol dengan orang paruh baya itu. Bahkan hingga saat itu tak tau namanya. Tak jelas asal-usulnya. Yang dia tau adalah sebagian besar pengetahuan dunia sudah dipahaminya. Dia bahkan lupa untuk menjawab pertanyaan awalnya ketika bertemu dipantai. Terlena dia pada asyiknya.
Celingukan Dini. Tatapannya nanar. Disekelilingnya hanya ada salju dan bebatuan. Serba putih dan sedikit hitam. Dia tau itu salju, dia tau sedang berada dimana dan apa saja yang hadir dihadapannya dan kenapa. Tapi nanar dia. Hatinya mencari arti rumah.
Emak! Iya dia baru ingat Emaknya! Dimana sekarang? Nanar matanya mencari. Mukanya berminyak, gelisah. Senyumnya sirna dan giginya kering karena melongo.
“Pergilah kesana nak. Lurus saja. Pulanglah anakku.” Saran seorang paruh baya itu pada Dini. Seolah sudah mengetaui apa yang menjadi pertanyaan Dini. Yah, siapa tidak?
Sekonyong-konyong melompat Dini kearah tenggara. Kini lompatannya berjarak kurang lebih satu kiloan. Berlari kemudian. Berlari menuju rumahnya. Menuju Emaknya dirumah.
Dini ingat kalimat terakhir dari seorang paruh baya itu sebelum dia melompat. Ketika bertemu cahaya yang menjulang ke langit bagai pilar, disitulah dia harusnya berhenti. Disanalah tujuannya. “Disanalah rumahku.” Pikirnya.
Benar saja, pilar itu terlihat. Butuh waktu sebentar saja baginya untuk menemukannya. Wajar, cahaya itu menjulang ke langit. Yah, siapa tidak lihat? Pikirnya.
Eh, sudah tiba Dini. Dilihatnya samar-samar. Oh itu Rumah Sakit. Mungkin bapaknya telah berbisnis Rumah Sakit setelah dulu jadi Guru. Atau salah satu dari mereka sakit? “Oh Tidak!” asal kau tau untuk urusan begini pikirannya cepat sekali menjadi negative.
Masuk dia ke dalam. bapaknya berbincang dengan dokter. Saudara-saudaranya di lorong. Emak? Dia tak temu Emaknya. Lari dia menuju kamar dibelakang Bapaknya. Diterobos saja. Menangis Dia. Sembari Teriak.
“Emaaaaaaaaaaakkk!!!”
Sempat dilihat Emaknya kaget. Tadinya beliau menutup muka, terisak isak. Mendadak terang sekali penglihatan Dini.
Dipeluknya sang Emak. Erat sekali. Rindu betul dia. Tapi aneh, semua jadi terasa berat, dan sesak. Tapi biarlah pikirnya, yang penting bertemu dia dengan Emaknya.
“Pak’eeee…. Pak… Liat anakmu paaaak!! Duh Gustiiii…”
Beberapa orang menyegerakan berwudlu masuk ruangan. Disambut isak tangis tentunya. Dan sedikit hysteria.
“Mangkane to nduuuk, ojo manjat-manjat, ora eloook” ratap Emaknya.
Kau tau? Rasanya seperti dihantam godam punggung Dini. Seketika memori itu kembali. Ingat dia atas apa yang sebelumnya terjadi. Berpikir keras dia. Lalu dilepas pelukannya. Turun dari tempat tidur. “Pendek betul diriku” sadarnya.

Yang Dini tak sadar, jiwanya telah termakan usia. Berpuluh-puluh tahun dia berkelana dan mengenal banyak hal. Tapi kemudian kembali pada tubuh mungilnya. Pada kurusnya. Walau tak seringan biasanya.

Kini.
 
Dini adalah sosok manusia dewasa,

    cenderung tua,

         dalam bentuk sedikit lebih muda dari remaja.

Prochnost.

Comments

  1. Saking lamanya dia ber-tua-lang dia jadi rindu masa kecil dalam tubuhnya yang sekarang.

    ReplyDelete
  2. Hahahaha aku suka kosa-kata-kosa-kata baru :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts