Ah, Sampah!
Orang taunya sampah itu bau. Ndaenak.
Orang taunya sampah itu sudah
tak ada sisa. Buang aja.
Orang berperasaan. Sampah tidak.
“coba sana deketin sampah,
baunya ditelaah.” Suara cempreng itu menyadarkanku. Bermuara dari seorang gadis
berkuncir. Bibirnya mencibir. Kuning langsat dia. Kalau pakai kaos begini, lucu
betul dia. Kalau bukan dia yang suruh, sudah kuinjak tengkuknya.
“kalau memang segala hal di
dunia ini ciptaan Tuhan, trus kenapa yang nangis saat dibuang cuma nasi? Yang lain
bagaimana?” cemprengnya menjadi-jadi. Aku terhenyak. Sadar aku sekarang. Gadis ini
pikirannya hilang.
“bukan Cuma manusia, sampah
juga ciptaan Tuhan, berperasaan.”
“mana ada.” Tandasku. “gak
masuk akal ah, itu Cuma sentimenmu aja.”
“lha-dha-lhaaaa, ya toh, mesti
bahas itu lagi!” cemprengnya tinggi.
“sampah itu kan sisa-sisa,
dari yang awalnya kangkung jadi sisa kangkung, yang tadinya ikan jadi sisa
tulangnya aja, yang tadinya─”
“udah iya contohnya gausah
kepanjangan, kezel dikupings. Trus?”
“Hih! Ya gitu, intinya walau
udah ndak sempurna, esensi nya tetap sama, sama-sama ciptaan Tuhan! Semua ciptaannya
kan bertasbih padanya, kagum sekaligus takut padanya, itu kan perasaan.”
“iya, perasaanmu aja, kan?!”
senyum aku. Suka pada jawabku sendiri.
“Hiii-iih! Gimana sih
dijelasin malah ngeyel toh!”
“kalo batrai gimana? Headset bekas
itu? Plastik? Hayo? Kan bikinan manusia tu”
“halah piye toh, mereka itu
kan terdiri dari atom-atom juga, penyusunnya bisa ditemuin di alam semua kan,
partikel penyusun alam semesta yang buat siapa coba?”
“iyassiiiih.”
“tu, bayangin, gimana perasaan
mereka setelah dipakai; dimanfaatkan. Trus dibuang gitu aja, ndak ada arti. Coba
kamu, mau aku gituin?”
“mana ada. Emang aku ni sampah
ta? Lagian kalo ditelaah pake logika murni, yang ada kamu yang ta manfaatin,
kamu cewek, aku cowok, abis ta nikmatin, ta buang kamu. Mau?”
“eh, iyassiiih. Eh lha kok
gitu kamu?! Mesum!!” cemberut dia, lucu
sangat.
“hehehe… kalau emang ada
lelaki yang ndak kepingin sama kamu, berarti ya homo dia. Lha wong kamu cantik
gini, gimana sih.” Aku memang bukan pakar psikologi, tapi aku tau kalau dia
suka jawabanku. Wajahnya merona.
“yaudah gini aja…” lantunanku
memecah kesunyian. Iya aku narsis.
“kita beli coklat yuk, coklat
hangat sore-sore gini enak tau, nanti kamu ceramahi aku lagi disana ndak apa,
ya?”
“eh! Iya-iya enak! Yuk!”
mendadak ceria dia.
“bilang mama dulu, kalo kita
mungkin pulang agak malam. Kasian daripada nunggu.”
“halah biar aja, paling papa
mama lagi sibuk sama adek kecil. Yuk langsung aja kak!”
Dalam perjalanan melamun aku. Penyesalanku
kadang muncul saat-saat seperti ini. Ya. Saat diperjalanan. Saat diam.
Bagaimana tidak menyesal aku. Terlalu
cantik dia. Tak bisa aku tak cinta lama-lama. Sama rasa kita. Dia juga tak
mungkin tak cinta aku lama-lama. Aku terlalu sempurna dimatanya. Iya aku
narsis. Tapi aku menyesal.
Bertemu aku dengannya sebagai
saudara tiri. Ayahku dan Ibunya bersatu karena keadaan. Bagaimana mungkin aku
tidak menyesal menghadapi kenyataan ini.
Aku mencintai adikku sendiri, walau tiri. Itu alibi, aku tau. Tapi dia juga
mencintaku. Iya aku narsis.
Andai kata kupaksakan menikahinya, tak lain
sampahlah kami dimata masyarakat. Mungkin dimata petinggi agama pula. Atau pejabat.
Atau apapun yang hadir disini sepertinya sependapat.
Sampah.
Mungkin benar apa yang
dikatanya. Sampah juga berperasaan. Mungkin unconsciousness mind nya ingin
berontak. Iya aku bukan ahli psikologi, tapi memang nampaknya seperti itu.
Bagaimana tidak menyesal kalau
begini jadinya?
Ah, Sampah.
Prochnost.
Comments
Post a Comment