Dia menyebutku Sahabat Karibnya



Dia temanku. Dia menyebutku sahabat karibnya.

Dia berparas suram, gelap. Sejajar denganku ujung kepalanya. Lebih panjang rambutnya dariku. Kurus dia. Aku juga. Tak banyak tingkah dia, tetapi lincah. Setiapkali disaat aku butuh bantuannya dia selalu hadir. Seperti saat aku gelisah dalam kesempitan ruang, dia menemaniku. Tak jarang bahkan dalam gelapnya penglihatan, dia sudi bersebelahan denganku.

Dia tak banyak suara, kecuali dalam rangka memperingatkanku akan bahaya. Dia dingin. Seperti tak ada api dalam dirinya. Dia baik, bagiku. Tidak bagi beberapa pihak. Tidak sedikit manusia yang menjauhkannya dariku. Dulu. Ya, dulu.

Dulu, ketika aku masih seumuran kucing dewasa, bertemu dia denganku. Darisitu aku tau dia tak banyak suara. Dalam  ketidakmampuanku untuk berbahasa, dia yang pertama memahamiku. Dia baik, bagiku.

Orang menganggapnya benalu. Menghisap saripati kehidupan inangnya, yang dimaksud itu aku. Berdasar anggapan itu, mulai banyak upaya menjauhkannya dariku. Seperti saat malam itu. Diusir dia dari hadapanku. Disakiti rasanya, disulut dia dengan kata-kata. Tidak. Dia tak menyerah begitu saja.Tetap dia menemaniku. Dia menyebutku sahabat karibnya.

Dulu. Pernah dia ditampar ayahku. Tidak juga dia bergeming. Hanya mengalah, sebentar saja cukup. Pernah dia dibakar ratapan ibuku. Tidak juga dia berpaling. Hanya mengalah, sebentar saja cukup baginya. Dia tetap menyebutku sahabat karibnya.

Banyak manusia tidak mengerti. Tapi aku tau. Dia tak punya cukup banyak teman. Diusir dia di sana-sini. Mungkin mereka terganggu dengan parasnya, warnanya, dinginnya. Mungkin. Mungkin karna itu dia dianalogikan sebagai benalu. Yang banyak dari mereka tidak habis pikir, dia baik bagiku. Mungkin karna itu dia menyebutku sahabat karibnya.

Belum pernah luput kudoakan kebaikan untuknya, minimal al-fatiha, minimal sekali setiap malam, setiap pukul tujuh. Dia senang. Mungkin karna itu juga dia menyebutku sahabat karibnya.

Benar tak banyak teman dia. Sanak saudarapun entah kemana. Berpuluh-puluh tahun dia mencari tak ada arti. Orang-orang yang mengaku temannya hanya memanfaatkannya, tanpa tau apa yang sebenarnya dia butuhkan. Sampai dia bertemuku.

Tanpaku, dia bagai bandeng tanpa air. Layaknya manusia didalam air. Sulit dia bernafas. Tanpanya, tak tentu arah aku. Nanar. Tak mengerti apa itu Tuhan. Mungkin itu juga sebabnya kuluangkan doa untuknya. Minimal satu dalam sehari. Minimal al-fatiha. Minimal setiap pukul tujuh.

Dia adalah asap dari api yang tak kunjung padam. Tanah yang menjadi naungan api itu telah menjadi abu. Sirna. Apinya entah kemana. Tak tau dia. Tinggallah dia sebagai asap yang bergentayangan. Nafs kata guruku. Mungkin itu yang membentuk parasnya. Mungkin juga itu yang menyebabkan dinginnya. Apinya entah kemana. Ke alam barzah mungkin. Akupun tak begitu yakin. Mungkin itu juga yang menyebabkannya menyebutku sahabat karibnya. Sama kita tak tau kemana perginya api itu.

Aku bukanlah dia. Dia tak serupa denganku. Tapi anehnya saling mmembutuhkan. Mungkin hingga giliranku menjadi sepertinya. Ketika sebagianku hilang entah kemana. Semoga kelak tak sulit kucari anak-cucuku. Tak perlu berpuluh-puluh tahun seperti dia padaku. Akan kusebut anak-cucuku sebagai sahabat karibku. Agar tak sangsi mereka melakukannya. Semoga kelak ketika giliranku menjadi sepertinya, tak sulit aku bernafas. Minimal sekali. Minimal al-fatiha. Minimal setiap pukul tujuh.
Prochnost.

Comments

Post a Comment

Popular Posts