Nama yang Kecil



Ada.

Gadis kecil berusia kurang lebih 10 tahun.
6 bersaudara, termasuk dia. 

Hanya satu orang dari keenam bersaudara tersebut yg tidak cacat mental.
Sayangnya, Dia termasuk yang mayoritas.

Hidupnya mirip seperti yang di tivi-tivi. Rumahnya tidak besar. Dan didalamnya tidak ada perabotan sama sekali. Percaya? Aku juga tak percaya awalnya. Tapi beliau tidak mungkin mengarang cerita. Dan mataku tak setega itu memantra dusta.

Perabotan di rumahnya dari dulu memang tidak banyak. Sekarang malah ludes.
Entah kenapa. Mungkin karena sang bapak kalah judi. atau berhutang. atau memang sengaja dijual untuk menutupi kebutuhan sehari hari. semua perabotan rumah ditiadakan. Bahkan satu satunya kasur tempat keenam anak itu tidur, pun lemari tempat menyimpan baju, sudah ditiadakan. Oleh karena itu, tikar adalah sahabat mereka dikala lelap.

Kakak Amar yang tertua, kerja di toko sebagai pramuniaga. Kakak kedua, yang juga cacat mental, kerja di pabrik kerupuk. Dia pernah bercerita kepada beliau bahwa minimal seminggu lima kali, membawa pulang kerupuk dari pabrik yang sudah tidak renyah lagi.
Keempat adik mereka, termasuk Amar, bersekolah di SDLB. Mereka sempat berhenti sekolah karena tidak punya kendaraan menuju sekolah yg berjarak sekitar 8 km dari rumah. Pihak SDLB kemudian memberikan becak kepada sang bapak untuk digunakan sebagai kendaraan pulang-pergi Amar dan adiknya ke sekolah. Tapi belakangan aku tahu bahwa becak hasil pemberian itu sudah lembut. Amar dan adik-adiknya sudah tidak bersekolah lagi.

Sehari, keluarga Amar hanya makan sekali. Makanya jika ada acara warga, mereka akan senang karena itu berarti mereka dapat jatah makan lebih banyak. Tidak ada satupun dari mereka yg berperawakan sehat. Semuanya kurus. Tulang-tulang pun seperti terlalu menempel pada kulitnya.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Amar kecil. Tiap hari berada di depan jalan rumah dengan adik-adiknya dan tertawa, atau kadang tersenyum. Entah apa yang lucu dan menggelitik mereka. Aku juga tak tau. Mungkin terselubung pada piluku.

Kemiskinan membuat orang tua Amar tega merampas hak anak-anaknya. Semua ini cobaan. Jelas. Tapi yang menjadi risauku, jelas mata orang tua Amar jauh dari tuhan. Bahkan mereka tidak pernah memberi pemahaman anaknya akan eksistensi Tuhan. Mungkin bagi mereka, tuhan tidak penting. Bisa jadi tak ada yang lebih penting daripada uang buat makan. Tapi mereka lupa bahwa rejeki datangnya dari Tuhan. Jika tidak meminta, Tuhan pun tak akan memberi. Tuhan maha tau tetapi menunggu. Sebuah judul buku yang mengingatkanku akan kisah pilu ini.


Tapi Amar dan saudara saudaranya, tentu tidak pernah bersalah atas semua ini.
Prochnost.

Comments

Popular Posts