Ubo Rampen bagian 2
Dalam kalkulasinya, dia sudah mengira hal ini akan terjadi. Perjalanan menuju
desa nelayan itu membutuhkan waktu kira-kira satu hari berjalan kaki. Dengan
menggunakan kuda bisa dicapai hanya setengah hari saja, bisa jadi kurang. Sedangkan
banyak tidak memiliki seekor kuda lagi.
Tidak patut untuk disesali hal itu, dia tau. Kuda satu-satunya sudah
dijualnya di pasar beberapa hari yang lalu. Hasilnya sudah digunakan untuk
membantu pembangunan kembali rumah seorang janda yang sempat hampir rata dengan
tanah karna ulahnya. Janda itu sendirian kala ambruk di hutan Wetan, Banyak
membantu membopohnya sampai kerumah. Janda tua itu memiliki seorang anak. Seorang
gadis belia, bunga desa. Demi keperluan pengobatan dan pengawasan atas kasus
keracunan, mau tak mau Banyak harus menginap semalam dirumah si Janda tua
beserta putrinya yang cantik. Akalnya sempat menolak rencana itu, karena
lingkungan desa disana termasuk salah satu yang konservatif─namun hati nuraninya berkata lain. Jadilah bulan-bulanan dia oleh para
pemuda setempat, dan rumah si Janda tak luput dari amuk pemuda-pemuda yang
terbakar cemburu pula. Banyak sengaja berserah diri, mengalah, walau semulia
apapun alasannya, tetap mengandung kesalahan didalamnya. Hingga akhirnya
Kamituwo desa menghentikan tindakan radikal itu dan menanyakan asal-muasal
kejadian itu. Banyak Anabrang lepas dari tuduhan itu, dan jelas nyaris tidak
mendapat luka yang serius. Bagaimanapun juga, luka tubuh bisa sembuh, tapi
rumah yang roboh tidak bisa memperbaiki diri sendiri. Jadilah tanggung jawabnya
untuk memperbaiki rumah tersebut.
Kejadian kala itu cukup memakan waktu perjalanannya menuju desa nelayan
di selatan, belum lagi pertarungannya dengan Ki Sapu yang perkasa; memakan waktu
hampir setengah hari pertarungan itu. Dia tau tidak ada gunanya menyesali
hal-hal yang telah lalu, tapi Banyak tetaplah manusia, sempat mengaduh dia
barang dua atau tiga kali.
Kini dia harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sedangkan esok
malam para nelayan sudah mulai berangkat menuju samudra melakukan pelayaran. Dicoba
peruntungannya dengan berlari cepat, dengan harapan bisa sedikit lagi memotong
waktu tempuh. Lelah akibat pertarungan dan perjalanan jauh itu tak dihiraukannya
sementara waktu, dirapalnya ajian saepi angin milik Hanuman putra sang Bayu. Jika
nanti tenaganya habis dan bertemu lawan yang merepotkan, mudah saja dia
dirobohkan. Tapi biarlah toh kala itu belum tiba juga.
Lewat tengah malam, sehari sebelum purnama, Banyak berhasil mencapai
targetnya─ Desa nelayan. Buru-buru dia menuju
kediaman Kamituwo setempat, dengan harapan bisa meminta pertolongan menumpang
di kapal salah satu warganya nanti, yang berangkat malam itu juga. Agak malang
nampaknya nasibnya kini setelah peruntungan diraih lebih awal. Kamituwo sedang
pergi berkunjung ke utara, tinggal putranya yang terkenal tamak menggantikannya
sementara.
Banyak mengungkapkan permohonnnya untuk menumpang di salah satu kapal
nelayan warga setempat. Sesuai hukum, segala permintaan ada Maharnya. Si putra
Kamituwo memintanya untuk melakukan penagihan kepada salah satu warganya.
Banyak menyanggupi dan langsung melesat menuju kediaman si empunya hutang
tersebut.
Tidak sesuai perkiraan, si empunya hutang ternyata keluarga miskin, yang
bahkan tidak mempunyai anak laki-laki untuk membantu mencari penghidupan.
Keluarga itu terdiri dari satu orang kakek yang sakit-sakitan, wanita setengah
baya seorang sebagai sang ibu, dan lagi-lagi seorang gadis adalah anak
satu-satunya. Inilah kelemahan dari Banyak. Bukan. Bukan kemiskinan yang
tertindas saja, tetapi juga kecantikan dari seorang gadis.
Sebagai seorang pendekar yang sudah terbuka Ajna nya, amat disayangkan
jika menjadi berkabut perhitungannya dikarenakan nafs terhadap lawan jenis.
Tapi sekali lagi, Banyak tetaplah manusia, yang hanya hebat dan sakti
mandraguna pada saat tertentu saja. Mendadak amarah menguasainya, kebencian
membuncah terarah pada putra Kamituwo yang tamak itu. Tak jadi dia mendatangi
keluarga miskin itu, sebaliknya berlari kembali pada kediaman Kamituwo.
Sesampainya ditempat, tepat saat putra Kamituwo sedang menikmati arak
bersama gerombolannya di lincak depan rumahnya, tanpa pikir panjang ditariknya
lincak itu. Jatuh berguling-guling semua yang ada diatasnya, termasuk si putra
Kamituwo. Anehnya, dia yang jatuh malah tertawa. Bukan karna arak yang membalut
pikirannya. Bukan.
“Hahahaha…. Sebesar inikah cintamu pada Gadis itu hai pendekar? Padahal
baru beberapa saat kau bertemu dengannya Hahahaha”
Banyak Anabrang hanya mengeplkan tangannya kuat-kuat. Amarahnya masih
mampu ditahan.
“Baru nyawang wae wis ngaceng, gimana bisa menahan nafsumu yang lain? Terutama
marahmu ini, Katanya ksatria? Hahahaha”
Meleleh akalnya terbakar api amarah. Melompat dia kedepan dengan kepalan
tangan yang siap melumatkan apapun yang menjadi targetnya. “Asu Bayi kemarin
sore menceramahi aku??” bukan hati yang
mengatakan itu asal kau tau, tetapi nafs yang kian tak terbendung.
Ekor mata Banyak menangkap kehadiran seseorang dengan kecepatan tinggi
mengarahkan tangannya pada kaki Banyak. Tak dihiraukannya, penting baginya
untuk membunuh anak ingusan itu terlebih dahulu kala itu. Marah betul dia. Hampir
seluruh manusia akan terjerumus emosi ketika kelemahannya digunakan sebagai
senjata untuk menyerangnya, ditambah dengan bumbu kata-kata menyakitkan pula.
Kaki kanan Banyak ditarik kebelakang, menyebabkan pukulannya yang
mengarah ke muka lawannya meleset satu
jengkal. Si putra kamituwo itu mengaduh keras, berguling kesamping sembari
memegangi muka kirinya. Pukulan banyak
Anabrang meleset, tetapi cipratan tenaga dalamnya meruncingkan udara disekitar
tangannya, menyebabkan beberapa luka gores pada muka lawannya walau hanya
terkena hembusan angin saja.
“Aku Lehcuk, kenapa kau menginginkan nyawa putraku, wahai pendekar syair
berdarah?”
Kamituwo Lehcuk bertanya dengan nada berat disertai sorot mata tajam
pada orang yang kakinya kala itu berda pada genggamannya.
Prochnost.
Comments
Post a Comment