Ada Apa dengan Buta?

Apalah daya manusia buta tanpa penutup matanya?

Bisa saja sangat dibutuhkan, bisa juga tidak, bahkan samasekali. Iya kalau bentuk matanya tetap normal, kalau tidak? Pun sebaliknya.

Apa pernah kau rasa hai manusia yang tak buta, bagaimana rasanya. Sudah tak ada cahaya dipelupuk mata, masih juga terhina oleh selentingan perasaan yang sewangi bunga tiga rupa.

Bahakan bisa jadi, kebaikan yang dilantuntakn orang yang tidak buta pada mereka yang buta, masih tetap menyakitkan. Bagaimana bisa coba?

Karena bisa saja bagi mereka, para tuna netra─bahkan tuna-tuna yang lain, bentuk santun kasihan merupakan kesombongan yang dibalut keindahan. Bagaimana bisa mungkin, katamu?

Coba sekali lagi kau rasakan hai manusia yang tak buta, tidak juga sebenarnya seluruh yang tak berdaya dianggap tak mampu berdaya. Ada juga rasa tak ingin dikasihani, ada juga rasa tak ingin dianggap tuna terhadap upaya. Apa saja yang kau indahkan pada mereka, tak sepenuhnya diterima dengan lapang hati. Bisa jadi. Ya.

Bagi beberapa dari mereka, kasihan merupakan wujud kesombongan yang nyata. Dari dalamnya tersirat pemahaman keluhuran yang berlebihan. Tak usahlah kau anggap aku ini tuna apa-apa. kadang, ya walau hanya kadang-kadang, hargailah sebagai manusia yang juga manusia.

Jika memang iya dirimu mengiba pada nestapa ini, sebisa mungkin jangan kau lantangkan suaramu bahwa tak ada punya upaya mereka. Jangan kau lantangkan suaramu bahwa betapa baiknya dirimu dengan menyiram iba padaku. Tak ada mereka sudi. Bisa jadi. Ketidak setujuan itu teramiini.

Tak ada ingin sedikitpun untuk menjadi buta, asal kau tau. Bahkan Shiva tak berani menutup semua matanya apapun yang terjadi. Tapi memang jika begini adanya, mau apa ada urus bersitegang dengan realita? tak.

Maka jangan sekali-kali kau menyiram iba diwajah mereka, yang tuna netra, dan tuna- tuna yang lain, dengan melantangkan kebaikanmu pada dunia. Gila.

Asal kau tau, narcissus tidaklah buta, tapi mengapa tak kau siram iba padanya?

Hai manusia. Tidakkah kau bisa baca?

Prochnost.