Ubo Rampen bagian 1
Dalam satu tarikan nafas yang cepat
dan padat dirapalnya mantra welut putih: “Ingsun amatak aji si welut putih-warso
mrusut sajroning watu-mrusut kersaning allah. Haq!” Meluncur disambutnya
kerumunan begal yang siap dengan goloknya masing-masing.
Mereka berjumlah sebelas orang, Sembilan
keroco dengan dua pemimpin yang nampaknya cukup sakti. Hampir semuanya membawa
golok kecuali salah satu pemimpinnya. Dia terlihat tidak membawa apa-apa. Memposisikan
diri paling belakang. Berdiri bersedekap. Sikapnya mantap. Bisa dibayangkan
betapa percaya diri dia dengan kesaktiannya. Paling depan pemimpin kedua. Tubuhnya
kekar dan kuda-kudanya akurat. Paling beringas sorot matanya. Jika dilihat-lihat
mirip dia dengan si pemimpin pertama diujung tadi. Bisa jadi mereka bersaudara,
dan dia─yang paling depan ini, adalah adiknya. Bisa jadi.
Kalkulasi Banyak Anabrang cepat
sekali. bahkan harus lebih cepat dari lajunya setelah merapal aji welut putih
tadi. Olah kanuragannya yang sudah cukup terlatih ditunjang dengan kekuatan
mistis dari aji tersebut, membuatnya melesat cepat, lebih cepat dari anak
panah. Tapi bukan itu tujuannya. Dia bermaksud menyelinap diantara kerumunan
begal itu. Melihat bagaimana reaksi dari tiap-tiap mereka jika musuh
mendekatinya. Jika dirasa sempat, sekalian dirobohkan dalam sekali pukulan.
Ajian welut putih biasanya digunakan
untuk melarikan diri dari kerumunan. Tanpa tergores sedikitpun. Tapi Banyak Anabrang menggunakannya untuk
mengukur kemampuan lawannya. Kepercayaan dirinya cukup terlatih sehingga mampu
menerapkan strategi semacam itu. Padahal baru beberapa menit yang lalu
begal-begal itu muncul seketika dihadapannya untuk mencari sesuap nasi. Atau sebongkah
berlian bila beruntung. “Biar kucoba dulu” dalam hatinya dia memantapkan.
Sabetan golok pertama meleset. Dihindari
dengan liukan indah oleh Banyak Anabrang. Sekejap tampak semakin melotot mata
si empunya serangan mengetahui serangannya tak menghadirkan darah segar.
Sisanya─kesembilan keroco itu, bahkan tak sempat melakukan serangan. Buku-buku
tangan milik Banyak menempel di masing-masing ulu hati mereka. Sisanya adalah
satu. Yang bersedekap kaku. Tak bergeming rupanya dia. Sedikitpun tidak dia
menggeser kakinya. Paham betul rupanya pada strategi Banyak.
Banyak Anabrang tak berbuat banyak,
dilewatinya begitu saja begal paling tenang itu. Sepersekian detik setelah debu
bertaburan satu demi satu begal keroco itu meringkuk. Tak sempat mengaduh
bahkan. Menyisakan Banyak dengan dua lawannya yang cukup tangguh. Sekonyong-konyong
berteriak yang kekar, “Asu! Kangmas Cikrak! Ayo disikat wae Asu satu ini!”.
Benar saja, rupanya mereka kakak-beradik.
“Dhimas… Dhimas Sapu, lawan kita
bukan pengelana biasa. Dia biasa berkelana memang. Nanging mencari elmu,
Dhimas. Kala ini biarkan aku yang menghadapinya langsung. Kita lihat ajian
apalagi yang dimilikinya selain welut putih pengecut itu!” keadaan memanas. Ki
Cikrak mulai pasang kuda-kuda.
Mengetahui hal itu, Banyak Anabrang
menjadi sedikit lebih serius. Kuda-kudanya bertahan, menanti sekiranya apa yang
akan diperbuat Ki Cikrak. Seorang begal yang merupakan mantan senopati dari
kerajaan Kulon Kali tak bisa begitu saja dipandang remeh. Kabar itu merebak
diantara masyarakat sekitar. Yang sebenarnya sempat tak dihiraukan oleh Banyak.
Tapi apalah boleh buat, setidaknya dia menjadi ingat kembali untuk tetap
waspada.
“Ingsun amatak aji sang
ajisoko-ingsun mancik bumine Allah-Yo aku anake Jan Banujan-aku kilat
buwono-sakabehing mungsuh ora padha weruh marang aku-matane dak tutupi bathok
bolu-peteng dedhet alimengan-sakabehing mungsuh padha cadhok cato cato
polo-bingung kersaning allah. Haq!” Mulut Ki Cikrak komat-kamit merapal ajian
Ajisoko. Diikuti dengan mengatupnya kedua telapak tangan didepan ulu hatinya. Sepersekian
detik lenyap dia dari pandangan Banyak Anabrang.
Mantra yang cukup panjang dan
melelahkan. Tapi Ki Cikrak mampu merapalnya dalam waktu cepat dan seketika
efeknya hadir. Sesuai kalkulasi Banyak, dia bukan begal biasa. Tak ingin
keteledoran menumpahkan darahnya, Banyak Anabrang merapal aji Kalacakra
pemberian Kiainya. Sepersekian detik setelah rapalannya kelar, sebuah kepalan
tangan menyeruak diantara kuda-kudanya. Menuju pada pangkal leher sang Banyak.
Jika olah tenaga dalamnya buruk,
sudah runyam jalur pernafasannya itu. Banyak melompat kesamping secepat kijang,
mengantisipasi serangan berikutnya yang pasti datang dari si adik yaitu Ki
Sapu, sembari mengatur nafas kembali.
Benar saja Ki Sapu mendadak ada
disebelahnya dan mnyerang membabi-buta bagai Buto Ijo. Sepertinya dia merapal
ajian tersebut disaat Banyak hening mengaji Kalacakra.
Ajian Buto Ijo sangat tepat untuk
perawakan sejenis Ki Sapu. Membuatnya memiliki kekuatan berlipat ganda. Tapi
sarat akan kengawuran. Membuat Banyak Anabrang dengan mudah menghindari setiap
bacokan dan pukulan dari Ki Sapu. Dirasuki amarah, Ki Sapu semakin menjadi-jadi
amuknya. Satu tebasan vertikal dengan kekuatan penuh diarahkan pada Banyak yang
posisinya lebih rendah dari pinggangnya. Tapi lagi-lagi meleset. Goloknya menghantam
tanah, membuat korban salah sabetnya hancur terbelah.
Dalam lompatannya, Banyak mengucap
syukur. Jika saja tak lantas dia menghindar, tak mungkin dia bisa mengantarkan
pesan Gurunya pada Adipati Ponogoro. Bisa-bisa tak hening semedhinya dengan
luka menganga terkena sabetan sekuat itu. Diakhir syukurnya merasa dia, hadir
suatu tekanan yang kuat mengarah ke punggungnya. Nyatanya Ki Cikrak melayangkan
tungkaknya sambil berseru “Bongkoh kowe hayoh!”
Serangan tersebut tak mungkin bisa
dihindari. Banyak Anabrang terguling di tanah. Tak ada bisa dia benafas selama
tiga detik. Tapi tiga detik dirasa cukup lama saat itu. Terbayang kembali
ingatan saat dia digembleng Gurunya, Diijasahi ajian oleh Kiainya, dan lain
sebagainya. Dalam kondisi seperti itu,
tiga detik merupakan waktu yang cukup lama untuk bernostalgia.
Hingga dia ingat akan pesan Gurunya.
Pesan yang berisi agar dia menyampaikan pesannya pada Adipati Ponogoro. Untuk
kemudian disampaikan pada Yang Mulia Penguasa Kerajaan Amadihuna. Pesan yang
hanya dia yang bisa menyampaikan. Seorang telik sandi dengan berbagai macam
kedigdayaan.
Ya! Tetiba ingat dia! Adigang-Adigung-Adiguno
adalah suatu yang dilarang! Sedangkan Ki Cikrak sudah melaksanakannya dengan
lantang barusan, tiga detik yang lalu. Banyak ingat akan salah satu ajian ampuh yang diijasahkan oleh Kiainya untuk menghadapi lawan sejenis itu.
“Ingsun amatak aji! Cublek meneng
senjataku si jalak rante-dibelitku sang tali ariari-dibeberku sang kawah. Haq!”
seketika cambuk gaib melilit tangan kiri Banyak. Dilepaskannya pada Ki Cikrak
yang tengah berkacak pinggang. Lilitan cambuk gaib itu membuat korbannya tak
mampu berbuat banyak, kecuali mengumpat, yang malah kian menyusutkan nafasnya. “Hoh
Jabang Bayi Kethek! Asu!”
Setelah tiga detik berlalu Banyak
Anabrang akhirnya bisa bernafas lega. “Ah, tinggal satu lagi, sisanya tak lain
hanyalah Kera yang lahir dari batu, ampun Gusti, semoga dia tidak menguasai
ajian jalak rante sepertiku. Bismillah kersaning allah. Haq!”
Ditinggalnya Ki Cikrak yang kehabisan nafas karena umpatannya sendiri.
Maju Banyak Anabrang menyambut amukan Ki Sapu.
Prochnost.
Comments
Post a Comment