Tulus
“Siapa kamu ketika tak ada seorangpun yang melihat?”
Tulisan yang dibaca pada sebuah gambar melalui timeline twitter itu
seperti screen saver pada OS windows 98 ketika zamannya smp dulu;
berputar-putar bolak-balik dipikirannya. Sebuah pertanyaan yang benar-benar
menyita perhatiannya.
Awalnya biasa saja.
Tapi setelah melihat sekitarnya: senyum palsu, tawa palsu, perhatian
palsu, kehadiran palsu, maupun yang tidak juga, bahkan yang datar,menjadi
terdiam dia. Ada mungkin sekitar beberapa menit. Menikmati, sekaligus
bertanya-tanya: kemana saja dia selama ini? Hal seperti itu terjadi
disekelilingnya dan tak satupun disadari. Barulah kiranya sedikit peka pada
kondisi dia. Ada apa kiranya. Mengapa hampir tiap persona yang saat itu
disekelilingnya, tampak berjarak mukanya─bagai pakai
topeng.
Tak percaya pada matanya sendiri. Rasionya mulai dominan. Pergi dia pada
tempat yang lain, keluar dari lorong itu. Menuju sana. Pokoknya ke sana. Bukan lagi
disitu.
Samar-samar dilihat lagi. Beberapa anak-anak berlarian. Rautnya tulus. Ceria,
kecewa, menangis, marah, teriak, gemas, kaget, takut, jijik, dan macam-macam
lagi. Senyum dia. Tapi juga sedih. Anak-anak adalah aktor paling hebat
pikirnya. Menangis mereka agar keinginannya terkabul, sejadi-jadinya,
totalitas, dan berhasil. Tulus. Perubahan warnanya jelas, singkat dan halus.
Matanya kemudian sejajar air. Dilihatnya yang lain─dan kecewa. Di rautnya terdapat jarak, sekitar beberapa senti. Berlapis-lapis
seperti bawang. Kagum, kecewa juga. Mereka yang berbicara merdu senyum tanpa
mata. Mereka yang sendu merintik tapi matanya bisu. Kaku. Palsu. Beberapa tawa
dibuat-buat. Beberapa iba dipaksakan nyata. Oh, dia takut mereka membohongi
satu sama lain. Betapa hampa mata-mata itu, tau tapi tak bisa apa-apa.
Mereka saling menipu satu sama lain. Respond dan tindakannya teratur. Sama
persis di buku-buku di toko-toko itu. Iya dia ingat pernah disuruh baca. Memang
jelas aturannya. Dan sudah dia mencuba. Iya dia jadi tau rasanya.
Pertanyaan tadi masih berputar di pikirannya. Lalu bagaimana aslinya? Inti
dari bawang yang berlapis itu, akankah berlapis sampai tak habis? Atau bagaimana?
Siapa mereka jika tak ada seorangpun disekitarnya? Sama kah? Lain kah? Tulus kah?
Jangan-jangan lelah?
Iya pikirnya mungkin kebanyakan lelah. Dia juga bisa rasa lelah, coba
dirasa barusan. Lalu bagaimana dengan yang ketika sendiri menjadi semaunya? Wah
puas kali nampaknya. Bebas mereka lepas. Tulus.
Tapi berbeda dengan anak-anak tadi. Anak-anak itu mampu sadar diri. Jika
sudah selesai ya baik mereka ganti emosi. Aktor hebat mereka. Tapi kadang yang
sejajar air menjadi berlebihan. Diterus-teruskan. Semaunya sendiri itu dibawa
terus walau sudah tak sendiri, kau tau. Tak mau tau orang lain pokoknya dia mau
tulus. Pikirnya itu tak salah kasus.
Itu sebab yang lain menjadi lebih baik menipu. Ingin mereka tapi tak
bisa. Ingin mereka mengikut tapi takut terhanyut. Pemain aman adalah yang
mengerti perkara waktu. Jadi biar menipu dulu kelak tak lagi. Tulus. Ketika sendiri.
Mendadak dia takut. Takut pada batasnya sendiri.
Dihapusnya gambar tadi. Berjalan dia dengan indah.
Indah yang dibuat-buat. Tapi Tulus.
Prochnost.
Comments
Post a Comment