Dikotil

Kakiku mulai payah. Tak mau didengar lagi seperti apa inginku -atau inginnya. Saat ini yang bisa kulakukan hanya melihat ke bawah, "sejenak tak apalah." lirih saja kuucap awalnya.

Perjalanan ini sangat melelahkan sejatinya. Jika saja bukan karna dia. Hanya ada dua pilihan bagiku, berhenti sejenak untuk secangkir kopi; atau melanjutkan perjalanan dengan kaki setengah sadar. Sepersekian detik sebelum aku menyatakan penawaranku, dia mulai angkat suara, 

Comments

  1. "ada cat cafe di ujung jalan sana. yuk"
    ujarku sambil menarik tangannya yang dingin terpapar udara musim semi yang ternyata tidak cukup hangat bagi tubuhnya dan tubuhku. terlebih ia memakaikan syal yang tadinya ia kalungkan di lehernya ke leherku.
    dasar bodoh.

    kuharap secangkir kopi hangat dan sekumpulan kucing yang mendengkur akan membuatnya kembali rileks.

    kemudian masuklah kami ke dalam cafe yang cukup sepi itu. hanya ada beberapa kucing yang berkeliaran dan tidur. aku menengadah untuk membaca raut wajahnya.

    ReplyDelete
  2. "Hm? adapa?"
    "Penampilanku macam ini kucing manapun tak mau dekat, coba liat muka pelayan tadi; aku yakin dia kebanyakan melamun, ada mungkin pikirnya kita macam teroris..."

    ReplyDelete
  3. aku memutar mataku sambil mendengus. paling tidak badannya yang tadinya kaku kembali rileks.
    "kurasa masyarakat di sini lebih takut idolanya pensiun daripada diserang teroris."
    lalu aku menariknya untuk duduk di meja dekat jendela.

    ReplyDelete
    Replies
    1. "Kau tau aku benar tak paham bahasa sini..."
      "hei coba lihat ini ya"

      Kutekan panel elektronik berikon gagang telepon di ujung meja, tak sampai 2 menit hingga pelayan datang.

      "Un café au lait et au lait ordinaire,"

      Mas-mas bermata sipit itu tersenyum dan sedikit membungkuk, kemudian kembali pada bar nya.

      "Lah, kau lihat itu? aku bahkan tak tau barusan bilang apa, tapi dia..." Ujarku berbisik. Dia masih sibuk merapikan isi tasnya sambil sesekali melirik padaku, biasanya pandangan seperti ini mengisyaratkan bahwa aku ndeso.

      Delete
    2. ah anak ini memang ndeso. aku meletakkan tasku dan membaca daftar menu.
      "americano? atau cappuccino?"

      Delete
    3. "Entahlah nanti dibawakan apa, tadi kubilang segelas kopi susu dan susu putih biasa. Mungkin Barista disini memang banyak bertemu turis-turis Eropa, siapa yang sangka jika mereka mengerti berbagai macam bahasa kini."

      Delete
  4. Pada dasarnya tidak terlalu sepi di sini, hanya saja hampir setiap orang yang kami temui dijalan jarang saling berbicara. Mungkin memang karna matahari mulai tenggelam, atau aku sendiri yang sedang mengalami syok kultur.

    Agak lama mata udikku memandang keluar jendela, antara kagum dan nyinyir terhadap atmosfir negara yang setidaknya ku kenal hanya melalui beberapa serial Anime. Ya, tak apalah, setidaknya aku mulai mampu mewujudkan keinginannya satu persatu.

    Wajahnya tetap lugu dari dulu, walau kadang hanya sebentar saja. Terlebih setelah beberapa saat kupandangi tanpa satupun kata keluar seperti ini.

    "Jadi gimana? Mau kemana lagi setelah ini?"

    ReplyDelete
    Replies
    1. "hmm. bagaimana kalau kita kembali ke penginapan saja? menonton tv tanpa terjemahan."
      ia tersenyum dan mengangguk.

      pelayan pun datang membawa pesanan kami diikuti kucing-kucing mahal berhidung pesek yang tidak mungkin kupelihara di rumah karena kemalasanku. kopi susu dan susu putih terhidang di meja kami. entah siapa yang canggih di sini, dia atau si pelayan.

      ia menyeruput kopi susunya dan aku tentu saja bermain dengan kameraku. mulai asal menjepret ke segala angle dan kutunjukkan hasilnya padanya. aku tak sepenuhnya tahu bagaimana pendapatnya tentang foto-foto yang kuambil. tapi tak apa.

      kami berencana untuk melihat prototype perangkat Augmented Reality dan berbagai teknologi mutakhir lainnya esok hari. satu hal yang ia tunggu-tunggu. atau mungkin tidak?

      Delete
  5. Beberapa gadis SMA mulai masuk pintu depan diiringi tawa-tawa kecil. Disusul dengan pasangan turis yang kedengarannya seperti berasal dari Jerman. Spontan kulihat jam tangan.

    Rasanya dia menyadari aku mulai tidak nyaman.

    "yuk" ujarnya halus.

    Ah, dia memang begitu, selalu paham apa yang tersirat melalui raut wajah.

    Setelah satu tegukan sajian hangat di meja, kami mulai berbenah, bersiap untuk kembali ke penginapan sembari menghabiskan sisa cerita hari ini dengan privasi. Cukup dia yang pergi ke kasir, tak paham aku pada ujaran Jepang walau sebatas transaksi keuangan di kasir.

    Dengan anggukan kecilnya perjalanan kami lanjutkan.

    Sebagai orang Indonesia yang dikenal atas keramah-tamahannya, kebiasaan melempar senyum pada setiap pasang mata yang berpapasan dengan kami sudah membudaya. Tak terkecuali para gadis-gadis belia dan pasangan Jerman tadi.

    "Sayonara" celotehku, disambut tawa-tawa kecil mereka yang belia.

    Ah, mungkin itu alasan kenapa dia mendadak mempercepat langkahnya.

    Prochnost.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts