Biji Awan
Tyas
mengalir menyusuri jalannya. Jika ada batu dia terbelok; jika ada ranting dia
terbelok; jika ada yang lain dihadapannya dia terbelok, mengikuti tuntutan apa
yang dihadapinya. Banyak yang mengibaratkan dia seperti air, sungai, atau
apalah.
Sebagai
saudaranya, hanya ibarat bentuk, aku awan. Jika ada gunung aku terbelok; jika
ada angin aku terbelok; jika ada yang lain dihadapanku aku terbentur, mengikuti
tuntutan apa yang dihadapanku. Banyak yang mengibaratkan aku seperti Samid,
Pamungkas, atau apalah.
Sudah
sering kulihat itu macam-macam bentuk kejadian, beratus-ratus tahun sudah. Ada
perang, bencana, kehidupan dan kematian. Tak ada tapi hari esok kulihat; hanya
kubayangkan saja bentuknya macam apa, banyak yang sebut itu namanya cita-cita.
Kalau
ditanya tadinya inginku apa, wasudah bingung. Sudah dapat hidup saja cukup
kali. Tapi ada yang bilang kita harus berkembang, tak baik jalan ditempat karna
bisa hadang yang lain di belakang. Maka kuputuskan sejak itu keinginanku adalah
aku tidak ingin disandari keinginan.
Tapi
ya mustahil.
Tapi
ya namanya keinginan.
Setidaknya
dari bentuk-bentuk yang terbayang di kumpulanku, mengisyaratkan enaknya duduk
santai, perut kenyang, tanah lapang, dan dukun tidak memaksaku untuk pergi
menjauh karna ada hajatan di bawah sana. Mungkin 15 tahun lagi, setidaknya, aku
sudah tak berbentuk seperti ini. Hingga tiba saatnya mungkin seperti adikku
Tyas aku hanya akan mengikuti tuntutan apa yang dihadapanku. Hanya saja yang
lain akan bergantung padaku; Jika ada orang kepanasan aku meneduhi; jika ada
sawah kering aku menghujani; jika ada hajatan aku mungkin ikut makan.
Prochnost.
Comments
Post a Comment