Kanthil Bagian 1
Perhaps they have become friends.
Perhaps sorrow...
Perhaps sorrow has brought them
together.
Perhaps they meet, and sit, over a
cup of that green tea they both so loved,
without milk or sugar not even a
squeeze of lemon—
Am I hiding something?
Menangis dia dalam sorotan, pada cuplikan drama ternama berjudul ‘Play’
yang melontarkannya pada kala lalu. Dia tau hal ini akan datang, karna memang
sudah dilaluinya. Dia tau bahwa ini hanyalah permainan, dan karnanya dia
menangis bahagia.
Namanya Kanthil. Dia tak punya lagi mata. Dia lebih memilih memberikan
anugrah itu pada yang lain; daripada harus tersakiti kenyataan. Sesuai namanya
dia memiliki bakat memikat. Bakat yang sangat langka yang bahkan hampir setiap
orang rela melakukan hal apapun untuk mendapatkannya. Kecuali bagi orang orang
tertentu yang memilikinya. Kecuali bagi dia sendiri. Bagi dia sendiri bakat tak
ada beda dengan kutukan.
Baginya kegelapan lebih indah dari apapun. Karna dengan gelap, tak ada
yang bisa menyakitinya. Baginya warna tak lain dari kepalsuan, disandang dengan
tujuan, dan hal itu menyakitkan.
Dia, dengan pasrahnya merupa buta, karna kekasihnya telah tiada. Menghilang
menjadi tumbal di kawah gunung berapi. Yang dia tau kekasihnya sudah dari kecil
disiapkan untuk menjadi pelindung desa. Menjadi tumbal dan tumpeng sekaligus.
Prochnost.
Comments
Post a Comment