ANAS



Anas namanya.

 Kembali jiwanya pada jasad setelah puluhan tahun melayang mengamati dunia. Dia memaksa untuk hidup kembali kerana amarah. Ya, amarah. Siapa tidak marah jika harapan tidak sesuai kenyataan?

Dulunya dia penulis. Banyak sekali cerita mampu dibuatnya, indah, mempesona, menggetarkan hati siapapun yang menyimaknya. Kelebihannya adalah mampu mendramatisir suatu kenyataan yang biasa saja menjadi kisah yang mahsyur. Geliat menulisnya luar biasa hebat.

Ya, jelas hebat. Sedari kecil dia tak pernah didengar. Hampir semua orang tidak menyadari kehadirannya. Setiap perkataannya bagai angin sepoi, saking sepoinya sampai-sampai barometer tak mampu menangkap seberapa kuat hembusannya.

Kerana tak pernah digubris itulah jadi banyak waktunya untuk melamun. Menerawang seperti apa kehidupan yang ideal baginya. Harapannya. Imajinasinya terasah. Menjadi luas yang nyaris tak terbatas hal-hal yang bisa difantasikan olehnya. Kerana itulah dia sangat piawai dalam mengarang dan memperindah sebuah cerita. Bahkan sepenggal.

Jarang dia bersuara. Jika tidak karena butuh makan atau mendesah pada jamban.

Dia bersuara melalui tulisan. Ya, benar juga dia. Jika tak ada yang mau dengar, maka dibuatlah orang membaca. Dari masa ke masa menggema gaung bahwa tulisan lebih dahsyat riaknya dari celotehan. Dia mangamininya. Maka sejak itu dibuatlah beratus-ratus tulisan. Dengan harapan dunia mau mendengarnya. Atau apalah istilahnya.

Jika bukan kerana Tuhan maha pengasih, tak ada dia bisa bertemu seorang guru yang teramat baik budinya. Didukung apapun tulisannya, didengarkan apapun desahannya. Tak ada sekalipun cela, sebaliknya dukungan moral digelontorkan hingga stok moralitas Nampak semakin menipis. Barangkali itu alasan mengapa banyak manusia tak bermoral. Mungkin jatahnya sudah terserap untuk mendidik sang Anas.

Sang guru memiliki banyak murid, tapi yang paling disayangi adalah Anas dan kakak tingkatnya, Ali Baqarah. Sebelum meninggal, sang Guru berpesan agar mereka berdua menjadi kutub dunia. Tapi nampaknya kesalah pahaman terjadi. Secara harfiah mereka menjadi kutub dunia. Bertentangan terus sepanjang hayat walau memiliki latar belakang yang sama.

Kembali lagi pada Anas. Dalam meneruskan Harapan masa kecilnya─yang sangat didukung oleh gurunya, tulisan-tulisannya disebarluaskan. Berbagai cara dilakukan. Kembali menjadi dalang dia. Kembali menjadi pengelana dia. Menjadi apapun dia mau. Walau belum tentu mampu.

“Aku adalah manusia hyperpoliprameta-talenta!”

Lantangnya dia jawab ketika ditanya “Sopo siro?”

Harapannya tinggi. Tanpa didasari kemampuan menerima yang hakiki. Menunggu dia hingga ajalnya tiba. Tak juga tulisannya dipuji orang. Orang. Bukan orang-orang. Tak satupun, bahkan kakak seperguruannya tak mau meliriknya. Mungkin kerana dia sedang dalam penjara. Ah, lupakan. Kembali kita pada sang Anas.

Dia teringat Benamin, Horokheimer, Adorino, Suprono, dan artis-artis tulisan lainnya yang termasyur. Mereka memiliki karya yang banyak dibicarakan bahkan setelah jasadnya tidak berbau lagi. Kembali sang Anas membayangkan kebahagiaan itu, kebahagiaan ketika karyanya diperbincangkan orang-orang. Bukan hanya orang. Bukan hanya satu.

Maka dipilihnya pilihan yang banyak orang tak mau memilih. Yaitu mati muda.

Dalam bentuk yang lain, ruang dan waktu menjadi sangat berbeda. Bebas dia berkelana, mendengar satu demi satu perbincangan. Yang kebanyakan melelahkan. Tak juga didengar namanya disebut. Bahkan hingga berpuluh-puluh tahun dia bergentayangan.

Hingga pada suatu malam didapatinya seorang bandit cilik, dengan tingkat kecerdasan ‘embacile’ berani sekali menyebut namanya. Anas. Sebagai judul tulisannya yang kurang ajar dan tak tahu malu. Seorang cilik itu salah kaprah memahami cerita hidupnya.

“Itu bukan Bibliography, itu harusnya Historiography! Bandit cilik Bodoh!!”

Amarahnya membuncah. Memohon pada Tuhan yang maha pengasih dia. Tujuannya satu: menghajar manusia cilik yang membicarakan namanya. Satu-satunya yang mampu.

Maka bangkit dari dalam dia, bersiap mengetuk pintuku esok pagi, dengan tatapan penuh marah kerana penantian yang tak kunjung usai.

Anas, O Anas.

Prochnost.

Comments

Popular Posts