Wasiat Anak Kepada Bapaknya

“anakku ketahuilah”

“Segala deskripsi hidup ini mengacu pada satu, begitu juga dari satu tu menjelaskan berbagai jenis tetek bengek turunannya.”

“apa ada kau maksud pak?”

“Lihat dan sesapi dengan seksama, apa yang hadir dan tak hadir didalam kandang itu.”

“aku melihat merak pak, tak bisa kuindahkan bau lembab tanah berunggas dan Tai.”

Terus terang sekali anakku ini. Tapi tak apalah kejujurannya kelak akan menggaungkan kebanggaan tersendiri. Bisa kubayangkan kelak di awang-awang akan tersenyum geli aku meresapi namanya di agung-agungkan disana-sini.

“anakku ingatkah kau pada rasa itu? Bau yang kau ceritakan barusan?”

“bagaimana bapak bisa tau?”

“Yasudah ceritakanlah padaku wahai kebanggaanku, jangan kau tunda.”

“ini rasa yang kurasa di halaman belakang pak tempat kita mengandangkan ayam-ayam kita. Bau ini terpusat, tempat tai yang tak tesorot matahari bersetubuh dengan bumi. Artinya ayam-ayam kita tak mampu kemana-mana selain disitu-situ saja, pak. Begitu halnya dengan merak yang cantik cantik penuh warna itu. Selebar apapun kandangnya, tetap saja didalam kandang dia. Terbatas dia. Berbeda baunya dengan kios daging panggang tadi. Jadi karna hanya disini gaung wangi tainya, sampai disinilah keterbatasannya, pak.”

Luar biasa tak meleset didikanku padanya. Kecerdasannya pasti melebihi kawan-kawan sejawatnyabarangkali lebih juga dari beberapa kelas diatasnya.

“cermatlah dalam menilai hidup, nak. Aku cukup bangga padamu. Tapi jangan kau menjadi seperti merak. Merekalah perlambang kesombongan. Tak pelik untuk di fikir keindahannya, semua orang tau tu. Tapi semakin layar terkembang, semakin kencang angin membawanya. Saking sering pamernya mereka, masuklah dalam kandang. Hidup diburu, matipun bilaperlu. Indahnya tak bermanfaat, kecuali untuk perhiasan berbalut kesombongan orang yang merampas dari jasadnya. Kesombongan itu akan menular dan mencelakai penyandang selanjutnya, dan begitu seterusnya.”

Hening sejenak.

Bau tembakau dicumbu api muncul. Disusul kata-kata yang mengepul.

“Lain halnya dengan ayam. Mereka dikandang karna manfaatnya; menunjang yang lain punya kehidupan. Sudah lama kau hidup dari daging dan telurnya, kan? Dari pengorbanannya muncul kesetiaan pengabdian pada bangsa, kebanggaan dari para orang tua yaitu kau anakku. Cerdaskan bangsamu, banggakan keluargamu, banggakan aku. Pergunakan manfaat turun-temurun itu dalam balutan semangat cermat

“Jadi siapa yang kurang cermat dalam menilai hidup, pak? Aku… atau bapak?”

“Hah?! Apa maks

“Maksudku biar kuperjelas, pak. Aku yang Bapak andaikan pada ayam, atau bapak sebagai sang merak putih seperti diujung itu?”

Api mencumbu tembakau ditangannya, tapi panasnya mendadak hadir di dada.

“ada tidak ekor mata bapak memandang merak putih disana? Dia yang dalam kesederhanaan warnanya menyombongkan diri, tak ada mau kalah dari mereka yang bercorak pelangi. Yang dia sombongkan sungguh tiada arti setidaknya dimataku. Menyongsong cemooh merak lain dengan: Aku lain dari kalian! Aku satu dalam kerumunan dan akan tetap jadi satu-satunya!”

Dahi mengernyit tak ada percaya. Rasa lengan ini ingin segera berlipat di dada.

“A…Apa maks

“tak juga Bapak percaya? Merak putih itu mengibarkan ekornya juga. Menyombongkan sesuatu yang fana. Jika aku kau andaikan layaknya ayam di kandang walau bermanfaat, wahai Bapak; menjadi sia-sia jika pengorbanan tadi hanya menjadi sedikit corak darah diantara sederhananya warna si merak putih. Darah Hiasan dari pengorbanan itu tak ayal menjadi jenis kesombongan baru, dan kesombongan tu fana perangainya. Lamat-lamat kudengar akulah perhiasanmu, tumpuan senyum puas sombongmu yang tak kesampaian. Jika benar begitu niatmu, wahai Bapakku, lebih baik aku dungu. Karna kesia-siaan mampu melancarkan hujam pada jantungmu.”

Segala warna berangsur memerah. Saking merahnya, hitam tak terindahkan. Dalam hitam kudengar detak jantungku sendiri. Membuncah berangsur memudar. Apa ini yang namanya mati?

Mendadak bangun aku. Deras keringatku nyatanya.Mimpi macam apa ini? Mengapa anakku padaku tak seperti aku pada bapakku? Jika ini mimpi mengapa rasa nyata sekali? apa ini yang disebut ramalan? AhTai! Tak ada aku peduli!

“Mana anak pungut itu?! Biar kupenggal sebelum dipenggalnya harapanku!”

Prochnost.

Comments

Popular Posts